Melihat kembali sejarah peradaban Islam, menurut Seyyed
Hossein Nasr arsitektur suci Islam yang paling awal adalah Ka’bah, dengan titik
poros langit yang menembus bumi. Monumen primordial yang dibangun oleh Nabi
Adam dan kemudian dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim ini, merupakan refleksi
duniawi dari monumen surgawi yang juga terpantul dalam hati manusia.
Keselarasan dimensi-dimensi Ka’bah, keseimbangan dan simetrinya, pusat dari
kosmos Islam, dapat ditemukan dalam arsitektur suci di seluruh dunia Islam. Menurut Abdul Rochim, yang dianggap sebagai cikal bakal
arsitektur dalam Islam adalah masjid, hal ini didasarkan dengan dibangunnya
masjid Quba oleh Rasulullah SAW sebgai masjid yang pertama.
Masjid Quba disebut para ahli sebagai masjid Arab asli
dengan bangunan yang awal mula berdirinya berupa bangunan yang sangat
sederhana, dengan lapangan terbuka sebagai intinya, dan penempatan mimbar pada
sisi dinding arah kiblat, serta di tengah-tengah lapangan terdapat sumber air
untuk tujuan bersuci. Bentuk bangunan dengan corak lapangan ini kemudian
dijadikan dasar dalam pembangunan masjid di berbagai wilayah Islam. Sejalan
dengan perkembangan Islam yang pesat dan menyebar di berbagai wilayah, bangunan
masjid pun tumbuh di berbagai wilayah Islam tersebut. Bangunan masjid di
berbagai wilayah mengalami penambahan ornamen-ornamen seni untuk menambah unsur
estetik masjid seperti hiasan kaligrafi pada interior masjid, penambahan menara
yang digunakan untuk menyeru orang-orang beriman untuk shalat, dan adanya makam
di sekitar masjid.
Masjid menjadi bangunan yang penting dalam syiar Islam,
untuk itu masjid dijadikan sebagai sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam
pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yakni
kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang terpateri oleh ajaran Islam dan kebudayaan
lama yang telah dimilki oleh masyarakat setempat. Di sini terjadilah asimilasi
yang merupakan keterpaduan antara kecerdasan kekuatan watak yang disertai oleh
spirit Islam yang kemudian memunculkan kebudayaan baru yang kreatif, yang
menandakan kemajuan pemikiran dan peradabannya. Oleh karenanya keragaman bentuk
arsitektur masjid jika dilihat dari satu sisi merupakan pengayaan terhadap
khasanah arsitektur Islam. Arsitektur masjid yang bernuansa lokal secara
psikologis telah mendekatkan masyarakat setempat pada Islam. Tampilan
arsitektur Islam tidak lagi hanya masjid , tetapi telah tampil dalam bentuk
karya fisik yang lebih luas , hal ini karena masjid sebagai arsitektur Islam
merupakan manifestasi keyakinan agama seseorang.
Pola Internalisasi Arsitektur Islam Jawa
Arsitektur
Islam di Jawa, pada hakikatnya, tidak terlepas dari keberadaan kebudayaan dan
tradisi yang sudah ada sebelum Islam masuk di wilayah ini. Tidak mengherankan,
bila di masa-masa awal masuknya Islam di tanah Jawa, bentuk-bentuk masjid masih
menggunakan gaya
arsitektur tradisional yang cenderung bernuansa Hinduisme. Itu tampak seperti
pada penggunaan atap tajuk dan pemakaian mustaka pada puncak atapnya. Bahkan,
pada beberapa masjid, ada yang memiliki pendopo di depan masjid atau serambi masjid.
Tidak itu saja, karena masuknya Islam ke Jawa juga berkaitan dengan kekuasaan
raja-raja pada masanya sehingga menghasilkan bangunan masjid yang cukup megah
pada zamannya dengan kekhasan tersendiri. Perpaduan itu tampak, misalnya, dari
bangunan masjid yang ada dalam lingkungan keraton. Umumnya, sebuah kerajaan
Islam memiliki keraton yang berdampingan dengan masjid
Pertimbangan
memadukan unsur-unsur budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam
menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam,
khususnya di Jawa. Apalagi, dalam sejarahnya, pada awal perkembangan agama
Islam di Jawa, penyebaran Islam dilakukan dengan proses selektif tanpa
kekerasan sehingga sebagian nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk dikembangkan.
Internalisasi
Islam dalam arsitektur di Jawa sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal Islam masuk
di Jawa. Mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan
melalui karya seni arsitektur, diantaranya adalah bangunan masjid. Kalau
dilihat dari masa pembangunannya, masjid sangat dipengaruhi pada budaya yang
masuk pada daerah itu. Masjid dulu, khususnya di daerah pulau Jawa, memiliki
bentuk yang hampir sama dengan candi Hindu – Budha. Hal ini karena terjadi
akulturasi budaya antara budaya setempat dengan budaya luar.
Ketika
Islam masuk di Jawa keberadaan arsitektur Jawa yang telah berkembang dalam
konsep dan filosofi Jawa tidak dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam
dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol Islam hadir dalam
bingkai budaya dan konsep Jawa, yang kemudian memunculkan kreativitas baru
sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan
akan keberadaan keunggulan muslim Jawa dalam karya arsitektur.
Arsitektur masjid dan menara
Ekspresi
estetik Islam tergambarkan dalam arsitek masjid-masjid tua. Citra masjid tua
adalah contoh dari interaksi agama dengan tradisi arsitek pra-Islam di Jawa
dengan kontruksi kayu dan atap tumpang berbentuk limas. Seperti Masjid Demak,
Masjid Kudus, Masjid Cirebon, dan Masjid Banten sebagai cikal bakal masjid di
Jawa. Menurut Nurcholis Madjid, arsitektur masjid Indonesia
banyak diilhami oleh gaya
arsitektur kuil hindu yang atapnya bertingkat tiga. Seni arsitektur itu sering
ditafsirkan sebagai lambang tiga jenjang perkembangan penghayatan keagamaan
manusia, yaitu tingkat dasar atau permulaan (purwa), tingkat menengah (madya),
dan tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana). Gambaran itu dianggap
sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan ihsan. Selain itu, hal itu
dianggap sejajar dengan syariat, thariqat, dan ma’rifat. Di
tanah Jawa, banyak arsitektur masjid yang masih mempertahankan arsitektur
budaya Jawa. Berikut akan dipaparkan arsitektur budaya jawa di beberapa masjid
di Jawa.
Masjid
Kudus, salah satu masjid yang bercorak khas Jawa , hal ini dapat dilihat dari
bangunan masjid yang memakai bentuk atap bertingkat/tumpang, dan pondasi persegi.
Bentuk bangunan masjid dengan model atap tiga ini diterjemahkan seperti yang
sudah disebutkan pemakalah tadi di atas sebagai lambang keislaman seseorang yang
ditopang oleh tiga aspek, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Yang paling monumental
dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi bercorak Hindu
Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya
yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan
berbagai menara masjid di seluruh dunia. Keberadaannya yang tanpa-padanan
karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid
itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Bangunan
menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian
dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan
Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan
diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat
pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun
konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya
selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering
ditemukan pada bangunan candi. Bentuk bangunan menara masjid Kudus
yang demikian dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat Hindu pada waktu itu
untuk memeluk Islam.
Masjid
Agung Demak, arsitektur bangunan Masjid Agung Demak sedikit banyak dipengaruhi
corak budaya Bali yang dipadu dengan langgam
rumah tradisional Jawa Tengah. Ini mengindikasikan bahwa pembuatnya adalah
arsitek pribumi yang tidak dapat meninggalkan unsur-unsur kebudayaan sendiri di
masanya. Kedekatan arsitektur Masjid Demak dengan bangunan Majapahit bisa disimak
pada bentuk atapnya. Kubah yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan
Islam malah tak digunakan. Bentuknya justru mengadopsi bangunan peribadatan
agama Hindu. Ini merupakan upaya membumikan Masjid Demak sebagai sarana
penyebaran agama Islam. Bentuk atap yang dipakai adalah tajuk tumpang tiga.
Bagian paling bawah menaungi ruangan berdenah segi empat. Atap bagian tengah
mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan,
atap tertinggi berbentuk limasan dengan tambahan hiasan mahkota pada puncaknya.
Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di pura Hindu. Kesamaan
bentuk atap ini memberikan petunjuk adanya akulturasi antara unsur bangunan
kebudayaan Islam dengan Hindu-Buddha pada masa itu. Arsitektur menara Masjid
Agung Demak berbentuk candi yang bercorak Hindu Majapahit.
Dalam
perjalan waktu, perpaduan budaya masih tetap mewarnai arsitektur Islam di Jawa.
Hingga kini, bangunan masjid yang kerap dimanifestasikan sebagai arsitektur Islam--tidak
terlepas dari perpaduan budaya setempat dengan budaya lainnya. Itu bisa dilihat
dari bangunan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang diresmikan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 November 2006. Arsitektur masjid yang
terletak di Jalan Gajah Raya, Semarang ,
ini merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Arab, dan Yunani. Konsep
bangunan tersebut menggabungkan arsitektur Jawa, Islam, dan Roma. Pemilihan
warna ataupun penataan interior masjid dirancang dengan bentuk dan hiasan yang
didominasi oleh pengaruh dua budaya: Jawa dan Islam. Bentuk kubah, lengkungan,
geometri bintang delapan, dan kaligrafi yang ada dalam masjid mencerminkan
budaya Islam. Masjid yang mampu menampung 15.000 jamaah ini mempunyai konsep
yang diterjemahkan dalam tradisi candra sengkala. Pesan dalam candra
sengkala yang dipadu dalam kalimat "Sucining guna gapuraning gusti"
(4391-1934 Jawa atau 2001 tahun Masehi Miladiyah) menandai awal terbesitnya
niat untuk mulai membangun masjid mutiara tanah Jawa itu.
Makam
Selain
bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudayaan Islam, juga terlihat pada
bangunan makam. Di Jawa, makam merupakan salah satu tempat yang dianggap
sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak
arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada
yang sederhanadengan hanya ditandai batu nisan seperti makam Fatimah binti
Maimun, 1428, atau makam Maulana Malik Ibrahim di gresik, 1419. Ada pula yang
diberi cungkup dan diberi hiasan-hiasan dan kelambu seperti makam Sunan Kudus,
raden Patah dan Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria, Sunan Giri dan Sunan
Ampel, dan ada pula yang dikijing.
Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari::
Daftar Kepustakaan:
Sekian postingan kali ini dengan judul "Arsitektur Islam di Tanah Jawa". Semoga bermanfaat. Dan jangan lupa klik tombol share media sosial ya sob. Terimakasih dan mohon maaf.
0 komentar:
Post a Comment
*Terimakasih atas kunjungannya, jika ingin kunjungan balik dari saya silakan memberikan komentar di bawah.
*Maaf No Live link dan No unsur SARAP (Suku, Agama, Ras, Antar golongan, Porno)
*Jika anda ingin mengutip artikel harus disertakan link yang menuju artikel ini. Baca selengkapnya di TOS.
*Jika banner atau link sobat ingin ditempatkan di blog ini, silahkan masuk halaman jawigo.blogspot.com/p/sobatku.html
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.