Arsitektur Islam di Tanah Jawa (Sumber:sejarah.kompasiana.com/2011/08/08/masjid-menara-kudus-bukti-indahnya-toleransi-islam-386462
Melihat kembali sejarah peradaban Islam, menurut Seyyed Hossein Nasr arsitektur suci Islam yang paling awal adalah Ka’bah, dengan titik poros langit yang menembus bumi. Monumen primordial yang dibangun oleh Nabi Adam dan kemudian dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim ini, merupakan refleksi duniawi dari monumen surgawi yang juga terpantul dalam hati manusia. Keselarasan dimensi-dimensi Ka’bah, keseimbangan dan simetrinya, pusat dari kosmos Islam, dapat ditemukan dalam arsitektur suci di seluruh dunia Islam. Menurut Abdul Rochim, yang dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam Islam adalah masjid, hal ini didasarkan dengan dibangunnya masjid Quba oleh Rasulullah SAW sebgai masjid yang pertama. 
Masjid Quba disebut para ahli sebagai masjid Arab asli dengan bangunan yang awal mula berdirinya berupa bangunan yang sangat sederhana, dengan lapangan terbuka sebagai intinya, dan penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, serta di tengah-tengah lapangan terdapat sumber air untuk tujuan bersuci. Bentuk bangunan dengan corak lapangan ini kemudian dijadikan dasar dalam pembangunan masjid di berbagai wilayah Islam. Sejalan dengan perkembangan Islam yang pesat dan menyebar di berbagai wilayah, bangunan masjid pun tumbuh di berbagai wilayah Islam tersebut. Bangunan masjid di berbagai wilayah mengalami penambahan ornamen-ornamen seni untuk menambah unsur estetik masjid seperti hiasan kaligrafi pada interior masjid, penambahan menara yang digunakan untuk menyeru orang-orang beriman untuk shalat, dan adanya makam di sekitar masjid.
Masjid menjadi bangunan yang penting dalam syiar Islam, untuk itu masjid dijadikan sebagai sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang  terpateri oleh ajaran Islam dan kebudayaan lama yang telah dimilki oleh masyarakat setempat. Di sini terjadilah asimilasi yang merupakan keterpaduan antara kecerdasan kekuatan watak yang disertai oleh spirit Islam yang kemudian memunculkan kebudayaan baru yang kreatif, yang menandakan kemajuan pemikiran dan peradabannya. Oleh karenanya keragaman bentuk arsitektur masjid jika dilihat dari satu sisi merupakan pengayaan terhadap khasanah arsitektur Islam. Arsitektur masjid yang bernuansa lokal secara psikologis telah mendekatkan masyarakat setempat pada Islam. Tampilan arsitektur Islam tidak lagi hanya masjid , tetapi telah tampil dalam bentuk karya fisik yang lebih luas , hal ini karena masjid sebagai arsitektur Islam merupakan manifestasi keyakinan agama seseorang.

Pola Internalisasi Arsitektur Islam Jawa
Arsitektur Islam di Jawa, pada hakikatnya, tidak terlepas dari keberadaan kebudayaan dan tradisi yang sudah ada sebelum Islam masuk di wilayah ini. Tidak mengherankan, bila di masa-masa awal masuknya Islam di tanah Jawa, bentuk-bentuk masjid masih menggunakan gaya arsitektur tradisional yang cenderung bernuansa Hinduisme. Itu tampak seperti pada penggunaan atap tajuk dan pemakaian mustaka pada puncak atapnya. Bahkan, pada beberapa masjid, ada yang memiliki pendopo di depan masjid atau serambi masjid. Tidak itu saja, karena masuknya Islam ke Jawa juga berkaitan dengan kekuasaan raja-raja pada masanya sehingga menghasilkan bangunan masjid yang cukup megah pada zamannya dengan kekhasan tersendiri. Perpaduan itu tampak, misalnya, dari bangunan masjid yang ada dalam lingkungan keraton. Umumnya, sebuah kerajaan Islam memiliki keraton yang berdampingan dengan masjid
Pertimbangan memadukan unsur-unsur budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa. Apalagi, dalam sejarahnya, pada awal perkembangan agama Islam di Jawa, penyebaran Islam dilakukan dengan proses selektif tanpa kekerasan sehingga sebagian nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk dikembangkan.
Internalisasi Islam dalam arsitektur di Jawa sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal Islam masuk di Jawa. Mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui karya seni arsitektur, diantaranya adalah bangunan masjid. Kalau dilihat dari masa pembangunannya, masjid sangat dipengaruhi pada budaya yang masuk pada daerah itu. Masjid dulu, khususnya di daerah pulau Jawa, memiliki bentuk yang hampir sama dengan candi Hindu – Budha. Hal ini karena terjadi akulturasi budaya antara budaya setempat dengan budaya luar.
Ketika Islam masuk di Jawa keberadaan arsitektur Jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofi Jawa tidak dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim Jawa dalam karya arsitektur.

Arsitektur masjid dan menara
Ekspresi estetik Islam tergambarkan dalam arsitek masjid-masjid tua. Citra masjid tua adalah contoh dari interaksi agama dengan tradisi arsitek pra-Islam di Jawa dengan kontruksi kayu dan atap tumpang berbentuk limas. Seperti Masjid Demak, Masjid Kudus, Masjid Cirebon, dan Masjid Banten sebagai cikal bakal masjid di Jawa. Menurut Nurcholis Madjid, arsitektur masjid Indonesia banyak diilhami oleh gaya arsitektur kuil hindu yang atapnya bertingkat tiga. Seni arsitektur itu sering ditafsirkan sebagai lambang tiga jenjang perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau permulaan (purwa), tingkat menengah (madya), dan tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana). Gambaran itu dianggap sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan ihsan. Selain itu, hal itu dianggap sejajar dengan syariat, thariqat,  dan ma’rifatDi tanah Jawa, banyak arsitektur masjid yang masih mempertahankan arsitektur budaya Jawa. Berikut akan dipaparkan arsitektur budaya jawa di beberapa masjid di Jawa.
Masjid Kudus, salah satu masjid yang bercorak khas Jawa , hal ini dapat dilihat dari bangunan masjid yang memakai bentuk atap bertingkat/tumpang, dan pondasi persegi. Bentuk bangunan masjid dengan model atap tiga ini diterjemahkan seperti yang sudah disebutkan pemakalah tadi di atas sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh tiga aspek, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Yang paling monumental dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan berbagai menara masjid di seluruh dunia. Keberadaannya yang tanpa-padanan karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Bangunan menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi. Bentuk bangunan menara masjid Kudus yang demikian dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat Hindu pada waktu itu untuk memeluk Islam.
Masjid Agung Demak, arsitektur bangunan Masjid Agung Demak sedikit banyak dipengaruhi corak budaya Bali yang dipadu dengan langgam rumah tradisional Jawa Tengah. Ini mengindikasikan bahwa pembuatnya adalah arsitek pribumi yang tidak dapat meninggalkan unsur-unsur kebudayaan sendiri di masanya. Kedekatan arsitektur Masjid Demak dengan bangunan Majapahit bisa disimak pada bentuk atapnya. Kubah yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan Islam malah tak digunakan. Bentuknya justru mengadopsi bangunan peribadatan agama Hindu. Ini merupakan upaya membumikan Masjid Demak sebagai sarana penyebaran agama Islam. Bentuk atap yang dipakai adalah tajuk tumpang tiga. Bagian paling bawah menaungi ruangan berdenah segi empat. Atap bagian tengah mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan, atap tertinggi berbentuk limasan dengan tambahan hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di pura Hindu. Kesamaan bentuk atap ini memberikan petunjuk adanya akulturasi antara unsur bangunan kebudayaan Islam dengan Hindu-Buddha pada masa itu. Arsitektur menara Masjid Agung Demak berbentuk candi yang bercorak Hindu Majapahit.
Dalam perjalan waktu, perpaduan budaya masih tetap mewarnai arsitektur Islam di Jawa. Hingga kini, bangunan masjid yang kerap dimanifestasikan sebagai arsitektur Islam--tidak terlepas dari perpaduan budaya setempat dengan budaya lainnya. Itu bisa dilihat dari bangunan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11  November 2006. Arsitektur masjid yang terletak di Jalan Gajah Raya, Semarang, ini merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Arab, dan Yunani. Konsep bangunan tersebut menggabungkan arsitektur Jawa, Islam, dan Roma. Pemilihan warna ataupun penataan interior masjid dirancang dengan bentuk dan hiasan yang didominasi oleh pengaruh dua budaya: Jawa dan Islam. Bentuk kubah, lengkungan, geometri bintang delapan, dan kaligrafi yang ada dalam masjid mencerminkan budaya Islam. Masjid yang mampu menampung 15.000 jamaah ini mempunyai konsep yang diterjemahkan dalam tradisi candra sengkala. Pesan dalam candra sengkala yang dipadu dalam kalimat "Sucining guna gapuraning gusti" (4391-1934 Jawa atau 2001 tahun Masehi Miladiyah) menandai awal terbesitnya niat untuk mulai membangun masjid mutiara tanah Jawa itu.

Makam
Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudayaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam. Di Jawa, makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhanadengan hanya ditandai batu nisan seperti makam Fatimah binti Maimun, 1428, atau makam Maulana Malik Ibrahim di gresik, 1419. Ada pula yang diberi cungkup dan diberi hiasan-hiasan dan kelambu seperti makam Sunan Kudus, raden Patah dan Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria, Sunan Giri dan Sunan Ampel, dan ada pula yang dikijing.

Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari::
(1) makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat. (2) makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga terbuat dari batu. (3) di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba. (4) dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak berpintu). (5) di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja.
Daftar Kepustakaan:
(1) Anasom, et. al., 2000, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media (2) Drs. Abdul Rochym, 1983, Sejarah Arsitektur Islam, Bandung: Angkasa (3) Drs. Atang Abd. Hakim, M. A, 2000, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya (4) http://architecturoby.blogspot.com/2009/01/arsitektur-islam.html, diakses tanggal 08 Oktober 2010 pukul 08.40 (5) http://dadigareng.blogspot.com/2009/03/perpaduan-seni-jawa-islam.html, diakses tanggal 09 Oktober 2010 pukul 09.25 (6) Seyyed Hossein Nasr, 1994, Spiritualitas dan Seni Islam, Bandung: Mizan

Sekian postingan kali ini dengan judul "Arsitektur Islam di Tanah Jawa". Semoga bermanfaat. Dan jangan lupa klik tombol share media sosial ya sob. Terimakasih dan mohon maaf.

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+

0 komentar:

Post a Comment

*Terimakasih atas kunjungannya, jika ingin kunjungan balik dari saya silakan memberikan komentar di bawah.
*Maaf No Live link dan No unsur SARAP (Suku, Agama, Ras, Antar golongan, Porno)
*Jika anda ingin mengutip artikel harus disertakan link yang menuju artikel ini. Baca selengkapnya di TOS.
*Jika banner atau link sobat ingin ditempatkan di blog ini, silahkan masuk halaman jawigo.blogspot.com/p/sobatku.html

 
Top