Larutan merupakan campuran homogen dari dua zat atau lebih. Suatu larutan pada umumnya terdiri dari dua zat, yaitu zat terlarut (solute) dan zat pelarut (solvent). Zat yang jumlahnya banyak biasanya disebut pelarut, sementara zat yang jumlahnya lebih sedikit disebut terlarut
-->
Akan tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja dipilih zat yang lebih sedikit sebagai pelarut, tergantung pada keperluannya, tetapi disini akan digunakan pengertian yang biasa digunakan untuk pelarut dan terlarut.
Suatu larutan sudah pasti berfasa tunggal. Berdasarkan wujud dari pelarutnya, suatu larutan dapat digolongkan kedalam larutan padat, cair ataupun gas. Zat terlarut dalam ketiga fasa larutan tersebut juga dapat berupa gas, cair ataupun padat. Campuran gas selalu membentuk larutan karena semua gas dapat saling campur dalam berbagai perbandingan.
Berdasarkan kemampuannya untuk menghantarkan arus listrik, larutan dapat digolongkan kedalam larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Larutan elektrolit adalah larutan yang dapat menghantarkan arus listrik yang selama pengahantarannya disertai dengan terjadinya reaksi redoks. Larutan non elektrolit adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan arus listrik. Berdasarkan pandangan termodinamika, larutan dapat dikelompokkan kedalam larutan ideal dan tak ideal.
Larutan juga dapat dikelompokkan menjadi larutan jenuh, larutan tak jenuh dan larutan lewat jenuh. Larutan jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah maksimum zat yang dapat larut dalam suatu pelarut pada suhu tertentu. Larutan tak jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah zat terlarut lebih sedikit daripada yang sebenarnya dapat dilarutkan oleh pelarut pada suhu tertentu. Sedangkan larutan lewat jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah zat terlarut lebih banyak daripada yang terdapat larutan jenuh pada suhu tertentu.
Sementara itu, dua zat dengan gaya-gaya antar molekul yang sama akan cenderung saling melarutkan. Molekul non-polar dapat larut dalam pelarut non-polar, misalnya Kloroform (CCl4) akan larut dalam Benzen (C6H6). Molekul polar dapat larut dalam pelarut polar, misalnya Alkohol (C2H2OH) akan larut dalam Air (H2O). Senyawa ionik akan lebih dapat larut dalam pelarut polar, misalnya Garam (NaCl) akan larut dalam Air (H2O).
1.2. Komposisi Larutan
Setiap kajian kuantitatif tentang larutan memerlukan pengetahuan mengenai komposisinya atau lebih khusus lagi mengenai konsentrasinya, yakni banyaknya zat terlarut yang ada dalam suatu larutan.
1. Fraksi mol
Fraksi mol merupakan satuan konsentrasi yang menyatakan perbandingan antara jumlah mol salah satu komponen dalam larutan dengan jumlah mol total. Fraksi mol diberi simbol X dan dapat dinyatakan dalam rumus sebagai :
2. Kemolaran (Molaritas)
Kemolaran atau molaritas merupaan satuan yang paling banyak dipakai. Konsentrasi molar dari suatu larutan adalah banyaknya mol zat terlarut dalam setiap liter larutan. Konsentrasi molar atau kemolaran diberi simbol dengan huruf M dan dinyatakan dalam bentuk rumus :
3. Kemolalan (molalitas)
Kemolalan menyatakan perbandingan mol zat terlarut dalam kilogram pelarut. Konsentrasi molal menunjukkan jumlah mol zat terlarut per kilogram pelarut.konsentrasi molal diberi simbol m dan dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
4. Persen Massa
Pesen massa suatu terlarut B dalam lautan didefinisikan dengan :
Sekarang kita akan bandingkan kegunaannya. Persen massa mempunyai keuntungan dalam hal massa molar terlarut yang tidak perlu diketahui. Keuntungan lainnya, persen massa terlarut dalam larutan tidak dipengaruhi oleh suhu, karena definisinya dinyatakan dalam bentuk massa. Fraksi mol umumnya tidak digunakan untuk menyatakan konsentrasi larutan. Akan tetapi konsep ini sangat berguna, misalnya dalam menentukan tekanan parsial gas dan juga dalam membicarakan tekanan uap dari larutan. Kemolaran merupakan satuan konsentrasi yang paling umum digunakan. Keuntungan adalah dalam membuatnya. Pada umumnya lebih mudah untuk mengukur volum larutan dengan menggunakan labu ukur yang telah dikalibrasi dengan teliti dibandingkan dengan menimbang pelarut. Kerugiannya terutama adalah bahwa kemolaran bergantung pada suhu, karena V merupakan fungsi T dan P. Kerugian lainnya adalah melalui kemolaran tidak terungkap banyaknya pelarut yang ada. Kemolalan, tidak bergantung pada suhu karena didefinisikan sebagai perbandingan jumlah mol terlarut dengan berat pelarut. Untuk alasan ini, kemolalan dipilih sebagai satuan konsentrasi dalam kajian yang melibatkan perubahan suhu, seperti dalam sifat koligatif larutan.
1.3 Termodinamika Larutan
1. Besar Molar Parsial
Sifat-sifat suatu larutan bergantung pada suhu, tekanan dan komposisi larutan tersebut. Dalam membicarakan sifat-sifat larutan perlu dipelajari besaran molar parsialnya. Contoh yang paling sederhana untuk memahami konsep ini adalah melalui besaran volum molar parsial. Volum molar bergantung pada komposisi larutan, maka volum molar parsial suatu komponen lalu didefinisikan sebagai perubahan volum suatu larutan jika mol komponen tersebut dilarutkan pada T dan P tetap ke dalam sejumlah larutan besar larutan dengan komposisi tertentu yang dengan penambahan komponen tersebut komposisinya tidak berubah. Jadi jika ingin menentukan volum molar etanol dalam 20 % mol larutan etanol dalam air, maka kita harus menambahkan 1 mol etanol ke dalam sejumlah besar larutan etanol 20 % dan perubahan volum yang terjadi merupakan volum molar parsial etanol dalam larutan etanol 20 %.
Volum molar parsial komponen A, dalam setiap larutan merupakan peningkatan volum larutan untuk 1 mol A yang ditambahkan pada T, P dan komposisi tertentu. Karena merupakan perubahan volum yang disebabkan perubahan jumlah A, nA pada T, P dan jumlah B, nB yang tetap.
Peningkatan volum larutan tanpa terjadi perubahan dalam komposisinya (dengan demikian volum molar parsial A dan B juga nilainya tertentu atau dengan lata lain tidak bergantung pada nA dan tidak bergantung nB), maka diperoleh:
Volum molar parsial dapat ditentukan melalui cara lereng. Untuk larutan yang terdiri dari zat A dan zat B, dapat diukur dengan cara menyiapkan larutan-larutan (pada T,P yang diinginkan) yang mengandung jumlah mol komponen A yang sama dan tertentu nilainya (misalnya 1 kg) tetapi dengan jumlah nB yang bervariasi. Lalu diukur volumenya kemudian alurkan V larutan terhadap nB. Dari definisi maka lereng atau kemiringan dari kurva V terhadap nB d setiap komposisi merupakan pada komposisi tersebut.
Jika sudah ditentukan dengan cara lereng tadi, maka dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan:
Volum molar parsial etanol dan air yang diukur pada berbagai rentang konsentrasi larutan, dari xetanol = 0 sampai dengan xetanol = 1 dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar. volum molar parsial air dan etanol dalam larutan pada berbagai komposisi
Perubahan volum pada proses pencampuran (pembentukan larutan) dari komponen-komponen murninya pada T dan P tetap dinyatakan dengan : ∆Vmix = V – V* , dengan V adalah volum larutan dab V* volum total komponen-komponen murninya sebelum dicampur pada T dan P. Dapat kita lihat bahwa volum larutan yang terdiri dari komponen A dan B merupakan jumlah mol A dikalikan volum molar parsial A ditambah jumlah mol B dikalikan volum molar parsial B.
Contoh:
Gunakan data pada gambar di atas, untuk menghitung volum larutan yang mengandung 3 mol etanol dan 9 mol air. Tentukan pula perubahan volum pada proses pencampuran tersebut. Volum molar etanol dan air masing-masing adalah : 68,7 cm3 mol-1 dan 28,1 cm3 mol-1.
Penyelesaian:
Analisis soal
Diketahui : ne = 3 mol = 68,7 cm3 mol-1
nA = 9 mol = 28,1 cm3 mol-1
Ditanyakan : V dan ∆V
Rencana penyelesaian:
Telusuri dari gambar di atas, dan , pada komposisi yang ditentukan lalu gunakan persamaan untuk menentukan volume larutan.
Perubahan volum dapat dihitung dengan menghitung volum akhir (larutan) dikurangi volum awal (jumlah volum air dan etanol sebelum dicampur).
Perhitungan:
Dari gambar, untuk etanol (gambar atas), pada xe = 0,25 diperoleh Ve = 56,0 cm3mol-1. Untuk air (gambar bawah) pada xA = 0,75 mol (yakni xe = 0,4) diperoleh =57,2 cm3mol-1.
Dengan demikian volume larutan:
V = (3mol)(56,0 cm3mol-1) + (9mol) (57,2 cm3mol-1)
= 168 + 514,8
= 682,8 cm3
Jumlah volum air dan etanol sebelum dicampurkan adalah
V = (3 mol)(68,7 cm3mol-1) + (9 mol) (28,1 cm3mol-1)
= 206,1 + 252,9
= 459 cm3
Jadi perubahan volum
∆V = (628,8 – 459)
= 23,8 cm3
Perhatikan bahwa besaran molar parsial didefinisikan pada T,P dan nj≠I tetap. Jadi untuk energi Gibbs, besaran molar parsial komponen i, didefinisikan sebagai sama dengan
2. Larutan Ideal
Untuk larutan ideal, kecenderungan A untuk pergi ke fasa uap sebanding dengan fraksi mol A, xA, dalam larutan:
PA = kxA
Dengan k ketetapan kesebandingan. Jika xA = 1, maka PA = , tekanan uap murni A.
PA = xA
Keidealan dalam larutan menghendaki keseragaman / kesamaan dalam gaya antar molekul dari komponen-komponennya dan ini hanya dapat dicapai jika komponen-komponen tersebut sangat mirip sifat-sifatnya.
Dengan = potensial komponen i dalam larutan dengan fraksi mol xi pada T dan P tertentu, = potensial kimia komponen i murni. Pada suhu T dan tekanan P keadaan standar dari komponen I dalam larutan ideal adalah cairan atau padatan i murni pada suhu T dan tekanan P dai larutan. Jadi . Oleh karena itu menjadi:
dengan
Ini merupakan definisi (standar) termodinamika untuk larutan ideal.
3. Termodinamika Pencampuran Larutan Ideal
Energi Gibbs, G dari larutan ideal:
Sementara energi Gibbs komponen-komponennya sebelum dicampurkan, pada T,P tetap adalah :
Karena c < xi <>xi
<> <>T,P tetap (isotermal, isobar).
Untuk larutan ideal, bahwa bergantung pada T dan fraksi mol tetapi tidak bergantung pada P. oleh karena itu berharga nol, sehingga
Jadi pada proses pembentukan larutan ideal dari komponen-komponennya tidak terjadi perubahan volum. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dalam larutan ideal selain antaraksi antar molekul sama, volumenya juga sama, sehingga ketika dicampurkan tidak ada perubahan volum.
4. Hukum Henry
Kebanyakan larutan bersifat tak ideal. Ada yang menyimpang secara positif, ada juga yang menyimpang secara negatif dari hukum Raoult. Sebaliknya penyimpangan negatif dari hukum Raoult terjadi karena gaya tarik terlarut-pelarut besar daripada gaya tarik terlarut-terlarut dan pelarut-pelarut. Artinya kedua zat lebih senang berada di dalam larutannya.
Nilai tetapan Henry untuk beberapa gas dalam air pada 298 K dapat dilihat pada tabel.
Gas
|
kl (torr)
|
H2
He
Ar
N2
O2
CO2
H2S
|
5,54 x 107
1,12 x 108
2,80 x 107
6,80 x 107
3,27 x 107
1,24 x 106
4,27 x 105
|
Dalam beberapa buku dapat dilihat bahwa untuk k digunakan satuan takanan-1, seperti toor-1atau atm-1. Untuk kasus seperti ini, Hukum Henry yang dinyatakan dengan ; Pj = kjxj dapat diubah menjadi dengan jadi kj yang mempunyai satuan tekanan dapat diubah menjadi kj dengan satuan (tekanan)-1 sehingga xj (di kedua persamaan tersebut) tidak mempunyai satuan. Perlu diketahui juga bahwa jika larutan ideal, maka k akan sama dengan P* dan hukum Henry maupun hukum Raoult dapat menjadi sama.
Larutan ideal encer, pelarut mengikuti hukum Raoult: (perhatikan hukum Raoult jangan tertukar dengan persamaan Dalton : , dengan xi fraksi mol komponen i di fasa uap, P = tekanan total dan terlarut mengikuti hukum Henry : Pj = kj xj . dan perlu dicatat bahwa pada hukum Raoult dan hukum Henry xi adalah fraksi mol pelarut dalam larutan dan xj adalah fraksi mol terlarut juga dalam larutan. Hukum Henry biasanya dihubungkan dengan kelarutan gas dalam cairan, akan tetapi sebenarnya Hukum Henry dapat pula digunakan untuk larutan-larutan yang mengandung zat terlarut bukan gas volatil.
Contoh:
Tekanan parsial CO2 di udara adalah 275 x 10-6 atm. Hitung kelarutan CO2 dalam air pada 250 C.
Penyelesaian:
1. Analisis Soal
Diektahui : PCO2 = 275 X 10-6 atm
T = 298 K
Ditanyakan : xCO2
2. Rencana Penyelesaian
= atau
; dengan n = mol total
Karena larutan gas-gas udara sangat kecil, maka
;
3. Perhitungan
(dalam 1 kg air)
4. Kesimpulan
Jadi kelarutan CO2 dalam kg air pada suhu 298 K adalah 1,19 x 10-5 mol.
Ada beberapa keterbatasan pada hukum Henry. Yang pertama adalah hukum ini hanya berlaku untuk larutan yang encer, yang kedua adalah tidak ada reaksi kimia antara zat terlarut dengan pelarut, karena jika ada reaksi kimia maka kelarutannya dapat terlihat sangat besar. Contoh gas-gas seperti itu CO2, H2S, NH3, SO2 dan HCl mempunyai kelarutan sangat besar dalam air karena terjadi reaksi dengan pelarut. Jadi dalam hal seperti ini hukum Henry tidak dapat lagi digunakan.
1.4 Hukum Distribusi Nernst
Untuk dua pelarut yang tidak saling melarutkan, seperti air dan karbon tetraklorida, ketika dicampurkan akan terbentuk dua fasa yang terpisah. Jika kedalamnya ditambahkan zat terlarut yang dapat larut dikedua fasa tersebut, seperti iodium yang dapat larut dalam air dan CCl4, maka zat terlarut akan terdistribusi dikedua pelarut (yang berbeda fasa) tersebut, sampai tercapai keadaan kesetimbangan. Pada saat tersebut potensial kimia zat terlarut difasa 1 sama dengan potensial kimianya difasa 2, μ1 = μ2.
Jika dikedua larutan encer ideal, maka μi = μoi + RT ln xi, sehingga saat kesetimbangan:
μo1 + RT ln x1 = μo2 + RT ln x2 dan RT ln x2 / x1 = μo1 - μo2 (1.31)
Karena: μo1 dan μo2 tidak bergantung pada komposisi, maka pada T tetap x2/x1 = k (1.32)
Dengan k koefisien distribusi atau koefisien partisi, yang harganya tidak bergantung pada konsentrasi zat terlarut pada T yang sama. Jika sejumlah tertentu zat terlarut sudah setimbang dalam dua fasa yang berbeda dan kemudian ditambahkan lagi terlarut kedalamnya, maka terlarut itu akan terdistribusi lagi dalam kedua pelarut sampai diperoleh keadaan kesetimbangan baru yang konsentrasinya berbeda dengan konsentrasi sebelum penambahan, akan tetapi nilai perbandingannya dikedua fasa berharga tetap,
k = x2/x1
Jika larutan sangat encer, maka fraksi mol sebanding dengan kemolaran sehingga:
k’ = m2/m1 dan k” = c1/c2 (1.33)
Dengan k’ dan k” tidak bergantunga pada konsentrasi dikedua fasa. Pesamaan (1.32) pertama kali dikemukakan oleh Nernst.
Hukum ini hanya berlaku bagi spesi molekul yang sama dikedua larutan: jika terlarut terasosiasi menjadi ion-ionnya atau molekul yang lebih sederhana atau jika terasosiasi membentuk molekul yang lebih kompleks, maka hukum distribusi tidak dapat diterapkan pada konsentrasi totalnya dikedua fasa melainkan hanya pada konsentrasi spesi yang sama yang ada dalam kedua fasa. Jadi jika zat A terlarut dalam satu pelarut tanpa mengalami perubahan, sementara dalam pelarut lain terjadi asosiasi dari terlarut, misalnya membentuk A2, maka koefisien partisi untuk distribusi tidak lagi merupakan perbandingan konsentrasi total terlarut dikedua fasa melainkan konsentrasi total di fasa 1 dibagi dengan konsentrasi molekul A yang tidak terdisosiasi difasa lain, jadi dengan perbandinagan konsentrasi dari molekul terlarut yang massa molarnya sama, dalam hal ini A dikedua pelarut. Contoh I2 dalam air dengan I2 dalam CCl4 bukan I2 dalam air dengan I-dalam CCl4.
Hukum distribusi Nernst ini terutama digunakan pada proses ekstraksi. Jika zat terlarut terdistribusi diantara dua pelarut yang tidak saling melarutkan dan zat terlarut tersebut tidak mengalami asosiasi, disosiasi atau reaksi dengan pelarut maka dimungkinkan untuk menghitung jumlah terlarut yang dapat diambil atau diekstraksi melalui sekian kali ekstraksi.
1.5 Sifat Koligatif
Sifat koligatif adalah sifat larutan yang hanya bergantung pada jumlah zat terlarut relatif terhadap jumlah total zat dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut. Adapun yang disebut sebagai sifat koligatif yaitu penurunan tekanan uap (ΔP), kenaikan titik didih (ΔTd), penurunan titik beku (ΔTf), dan tekanan osmosis (Π). Dalam pembahasan ini yang akan dibahas adalah sifat koligatif pada larutan nonelektrolit, perlu kita ingat bahwa kita membahas larutan yang relatif encer yang berarti larutan yang konsentrasinya ≤ 0,2 M.
1. Penurunan Tekanan Uap
Jika zat terlarut bersifat nonvolatif, tekanan uap dari larutan selalu lebih kecil dari pelarut murninya. Jadi, hubungan antara tekanan uap larutan dan tekanan uap pelarut bergantung pada konsentrasi zat terlarut dalam larutan. Hubungan tersebut dirumuskan dalam hukum Roult (jika gas ideal), yang menyatakan bahwa tekanan parsial pelarut dari larutan, P1 adalah tekanan uap jenuh pelarut murni (Po1), dikalikan fraksi mol pelarut dalam larutan X1:
P1 = X1.Po1
P1 = (1-X2).Po1
Po1 = ∆P = X2.Po1
Jika kedua komponen Volatile maka tekanan uap larutan adalah jumlah dari tekanan parsial masing-masing komponen. Hukum Roult juga berlaku sebagai berikut:
PA = XA.PoA
PB = XB.PoB
PT = XA.PoA + XB.PoB
2. Kenaikan Titik Didih
Titik didih suatu cairan adalah suhu pada saat tekanan uapnya sama dengan tekanan atmosfer luar. Maka kenaikan titik didih didefinisikan sebagai:
ΔTd = Td – Tod
Karena titik didih berbanding lurus dengan konsentrasi (molalitas) larutan, dengan kata lain : ΔTd = kd.m atau ∆Td = g/Mr x 1000/P x kd
Dimana: Td : titik didih larutan
Tod : titik didih pelarut murni
kd : konstanta kenaikan titik didih molal
m : molalitas
3. Penurunan Titik Beku
Air membeku pada 0 oC dan pada tekanan 1 atm, temperatur tersebut dinamakan titik beku normal air. Dengan adanya zat terlarut ternyata pada temperatur 0 oC belum membeku, pada T itu tekanan uap jenuh larutan lebih kecil dari 1 atm maka agar larutan membeku maka T harus diturunkan sampai P uap jenuh larutan mencapai 1 atm. Selisih antara titik beku zat pelarut dengan titik beku larutan disebut penurunan titik beku (ΔTf)
ΔTf = titik beku pelarut – titik beku larutan
Penurunan titik beku yang disebabkan oleh 1 mol zat terlarut dalam 1000 gram zat pelarut dinamakan penurunan titik beku molal (Kf). Maka hubungan antara titik beku larutan dan molalitas larutan dirumuskan :
ΔTf = m.kf atau ΔTf = g/Mr x 1000/P x kf
4. Tekanan Osmosis
Osmosis adalah suatu proses dimana suatu solven akan berdifusi dari larutan yang konsentrasinya rendah menuju larutan yang lebih pekat melalui suatu lapisan tipis (membran semi permiabel) yang hanya dapat dilalui oleh partikel solven tetapi tetapi tidak dapat dilalui partikel solut. Tekanan pada larutan pada titik yang berbanding lurus dengan tinggi cairan pada kapiler disebut tekanan osmotik larutan (Π). Untuk larutan yang encer tekanan osmotik berbanding lurus dengan molaritas (M) dari solut dan konstanta RT.
Jadi Π = M.R.T dimana M = n/v jadi Π = n/v.R.T
atau Π = g/Mr x 1000/V x R.T
Dari rumus tersebut juga dapat dapat digunakan untuk menentukan massa molar terlarut dari pengukuran tekanan osmotik larutannya jika massa terlarut (WB) dengan massa molar (MB) dilarutkan dalam sevolum larutan (V), maka Π = WB.R.T / MB.V
1.6 Larutan Nyata (Tak Ideal)
Pada umumnya larutan bersifat ideal. Masalah yang muncul ketika membicarakan larutan tak ideal adalah bagaimana menyatakan potensial kimia untuk komponen –komponen pelarut dan terlarut dalam larutan tersebut. Hal ini penting mengingat potensial kimia merupakan kunci dari termodinamika.
Untuk larutan ideal atau larutan cair atau padat encer ideal non elektrolit, potensial kimianya dinyatakan dengan:
ln xi ( 1.1 )
Dengan potensial kimia komponen I pada keadaan standar, dan xi fraksi mol I dalam larutan.
Komponen – komponen pada larutan tak ideal dibicarakan sifatnya berdasarkan penyimpangannya dari larutan ideal. Untuk memudahkan membandingkan sifat tersebut, maka dipilih suatu pernyataan mengenai potensial kimia tak ideal µi dalam bentuk yang sangat mirip dengan potensial kimia ideal seperti pada persamaan (1.1) diatas. Untuk setiap komponen I dari larutan tak ideal kita pilih suatu keadaan standar dan melambangkan potensial kimia keadaan standar komponen I dengan . Untuk itu didefinisikan keaktifan I, ai dalam setiap larutan non - elektrolit tak ideal melalui rumusan:
ln ai (1.2)
Perbedaan antara potensial kimia laruan nyata pada persamaan (1.1) dan larutan ideal pada persamaan (1.2) adalah:
ln ai - ln xi = ln (ai / xi)
Jadi perbandingan merupakan suatu ukuran penyimpangan dari perilaku ideal. Oleh karena itu didefinisikan koefisien keaktifan komponen I, γi sebagai γi = ai / xi , sehingga:
ai = ai xi
Kita harus menyatakan keadaan standar dari masing-masing komponen larutan. Ada dua konvensi mengenai keadaan standar yang digunakan, yakni:
Konvensi 1;
Digunakan untuk larutan yang fraksi mol semua komponen-komponen nya dapat berfariasi dalam rentang yang cukup tinggi. Kasus yang paling umum adalah larutan dari dua cairan atau lebih( missal; air dengan etanol ). Keadaan standar berdasarkan konvensi 1 untuk setiap komponen I dalam larutan diambil cairan murni I pada suhu dan tekanan larutan.
= (T,P) (1.3 )
Tanda derajat menunjukkan keadaan standard tanda bintang menyatakan zat murninya. Konvensi yang digunakan untuk menyatakan keadaan standar larutan ideal
= + xi (1.4 )
Keadaan standar ; I murni , maka xi = 1 , ln xi = 0 , =
Untuk larutan nyata:
= + ln γi,i xi
Pada keadaan standar : = , ln γi,i xi =0, γi,i xi = 1 (1.5 )
I murni, maka xi = 1 , jika demikian maka γi,i = 1. untuk larutan ideal ; γi,i = 1
Untuk larutan tak ideal , penyimpangan γi,i dari 1 merupakan ukuran penyimpangan sifat larutan dari sifat larutan ideal. Berdasarkan persamaan ( 1.4 ) dan (1.5 ):
= + ln γi,i xi (1.6 )
Konvensi II .
Digunakan jika suatu komponen larutan (pelarut ) berbeda dengan komponen lainnya (terlarut ). Kasus umum adalah larutan dari padatan atau gas dalam pelarut cair. Keadaan standar konvensi II pada pelarut A adalah cairan mmurni A pada T dan P larutan.Dengan =(T,P), maka persamaan (1.5 ) menjadi = + ln γii,A xA
Keadaan standar untuk setiap terlarut sebagai keadaan fiktif (hipotesis) sebagai berikut. Jika zat terlarut berupa zat padat gas, pemilihan keadaan standar didasarkan pada postulat:
Jika xià 0 atau xA à1, à 1
a1 = γixi à ai = ai xi
Pada larutan yang sangat encer : keaktifan ~ kosentrasi (atau x1 )
Dalam keadaan standar a1 = 1
xià 0 , ai = xi
ai = 1 jika xi = 1
Jadi keadaan standar bagi zat terlarut dalam larutan diambil larutan dengan kosentrasi (xi = 1) yang sifat-sifatnya seperti seperti larutan pada pengenceran tak hingga ( yang sifatnya seperti larutan ideal). Ini adalah fiktif (tidak ada). Dari potensial kimia , sifat – sifat termodinamika larutan dapat ditentukan.
Penentuan Keaktifan dan Koefisien Keaktifan
Koefisien keaktifan biasa ditentukan dari data pada kestimbangan fasa, yang paling umum adalah dari pengukuran tekanan uapnya.
Konvensi 1
Digunakan sebagai standar untuk menentukan keaktifan a1,i dan koefisien keaktifan γ1,i dengan menggunakan data tekanan uap kita gunakan nilainya: Pi = a1,iP Dengan Pi tekanan uap parsial I diatas larutan Ptekanan uap murni.
Konvensi II
Persamaan Gibbs – Duhem
Koefisien keaktifan terlarut yang tidak menguap dapat dicari dari data tekanan uap dengan menggunakan persamaan G =, kita peroleh perubahan G dari larutan. Dengan menggunakan persamaan :
dG = -SdT +Vdp +Diperoleh :
+ sdT –vdp = 0 (1.7 )
Koefisien Keaktifan Terlarut Nonvolatil
Untuk larutan dengan terlarut padat dalam cairan, tekanan uap terlarut sangat kecil dan tidak teratur, sehingga tidak dapat digunakan untuk mencari koefisien keaktifan terlarut. Pengukuran tekanan uap sebagai fungsi dari komposisi menghasilkan Pa, tekanan persial pelarut. Dengan demikian koefisien keaktifan pelarut γA pada berbagai komposisi dapat dihitung. koefisien keaktifan terlarut, γB kemudian dicari dengan menggunakan persamaan Gibbs- Duhem.
Untuk larutan dua komponen , yakni pelarut A dengan terlarut B maka persamaan Gibbs- Duhem pada T , P tetap.
nAd+ xBB = 0
Koefisien keaktifan pada kemolaran dan konsentrasi molar
Sampai sekarang, komposisi larutan yang dinyatakan dengan menggunakan fraksi mol dan potensial kimia terlarut I dinyatakan dengan ;
= + ln γii,i xi dengan ln γii,B,2 à 1 (1.8 )
Dengan A sebagai pelarut . Akan tetapi , untuk larutan padat atau gas dalam cairan , potensial kimia terlarut biasanya dinyatakan dalam bentuk kemolalan atau kemolaran. Kemolaran terlarut I dinyatakan dengan m i =
Sekarang kita definisikan m.i dan m.i sebagai ;
= + ln ( M Am) (1.9 )
Degan definisi ini , menjadi ;
= m.i + ln ( m.i/ m ) (1.10 )
Tujuan dari pendefisian (1.10) untuk menghasilkan pernyataan bagi dalam bentuk mi yang mempunyai bentuk yang sama seperti pernyataan dalam bentuk xi yang menjadi permasalahan sekarang adalah apa dan bagaimana keadaan standar bagi skala kemolalan.
1.7 Sifat Koligatif Larutan Nyata
Larutan ideal didefinisikan sebagai larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-partikelnya. Misalnya untuk larutan dua komponen A dan B, gaya antar molekul antara A dan B, B dan B, serta A dan A, semuanya sama dalam larutan ideal, jumlah volum dan ukuran masing-masing spesi adalah sama. Untuk larutan ideal kecenderungan A untuk pergi ke fasa uap sebanding dengan fraksi mol A, XA dalam larutan PA = k XA, dengan k tetapan kesebandingan. Jika xA = 1, maka PA = P*A, tekanan uap murni A. Dengan demikian persamaan berubah menjadi PA = xA P*A. Sebagaimana juga perilaku gas nyata berbeda dengan perilaku gas ideal, perilaku larutan nyata berbeda dengan perilaku larutan ideal, dengan kata lain berbeda dari hukum Raoult. Gambar 1(a) menunjukkan kurva tekanan uap sistem biner dua cairan yang cukup berbeda polaritasnya, aseton Me2CO dan karbon disulfida CS2. Dalam hal ini, penyimpangan positif dari hukum Raoult (tekanan uap lebih besar) diamati. Gambar 1(b) menunjukkan tekanan uap sistem biner aseton dan khloroform CHCl3. Dalam kasus ini, penyimpangan negatif dari hukum Raoult diamati. Garis putus-putus menunjukkan perilaku larutan ideal. Perilaku larutan mendekati ideal bila fraksi mol komponen mendekati 0 atau 1. Dengan menjauhnya fraksi mol dari 0 atau 1, penyimpangan dari ideal menjadi lebih besar, dan kurva tekanan uap akan mencapai minimum atau maksimum.
gambar. 1(a) 1(b)
Penyebab penyimpangan dari perilaku ideal sebagian besar disebabkan oleh besarnya interaksi molekul. Bila ikatan hidrogen terbentuk antara komponen A dan komponen B, kecenderungan salah satu komponen untuk meninggalkan larutan (menguap) diperlemah, dan penyimpangan negatif dari hukum Raoult akan diamati.
Pengertian dari sifat koligatif adalah beberapa sifat penting larutan bergantung pada banyaknya partikel zat terlarut dalam larutan dan tidak bergantung pada jenis partikel zat terlarut. Yang disebut sebagai sifat-sifat koligatif ialah penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku,dan tekanan osmotik. Dalam pembahasan ini sifat koligatif larutan nonelektrolit yang digunakan adalah larutan yang encer, yang berarti larutan yang konsentrasinya ≤ 0,2m. Sifat koligatif larutan nyata yaitu sifat penting larutan bergantung pada banyaknya partikel zat terlarut dalam larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-partikelnya. Persamaannya yaitu
μi = μ˚m,i + RT ln ( γm,i mi / m˚), m˚≡ 1 mol/kg, i ≠ A
γm,i → 1 ketika xA → 1
diturunkan menjadi
α m,i = γ m,i mi / m˚ dan α c,i ci / c˚.
Persamaan-persamaan yang sudah diturunkan sebelumnya, didasarkan pada asumsi sifat ideal dari larutan. Persamaan ini sangat baik diterapkan untuk larutan-larutan encer (umumnya dengan xB <>
1. Berdasarkan kemampuannya untuk menghantarkan arus listrik, larutan dapat digolongkan kedalam larutan elektrolit dan larutan non elektrolit
2. Ada beberapa keterbatasan pada hukum Henry. Yang pertama adalah hukum ini hanya berlaku untuk larutan yang encer, yang kedua adalah tidak ada reaksi kimia antara zat terlarut dengan pelarut, karena jika ada reaksi kimia maka kelarutannya dapat terlihat sangat besar.
3. Sifat koligatif adalah sifat larutan yang hanya bergantu ng pada jumlah zat terlarut relatif terhadap jumlah total zat dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut. Adapun yang disebut sebagai sifat koligatif yaitu penurunan tekanan uap (ΔP), kenaikan titik didih (ΔTd), penurunan titik beku (ΔTf), dan tekanan osmosis (Π).
a. Penurunan tekanan uap dapat dinyatakan dengan PA = XA.PoA
b. Kenaikan titik didih didefinisikan sebagai: ΔTd = Td – Tod
c. Selisih antara titik beku zat pelarut dengan titik beku larutan disebut penurunan titik beku (ΔTf) dinyatakn dalam ΔTf = m.kf
d. Tekanan pada larutan pada titik yang berbanding lurus dengan tinggi cairan pada kapiler disebut tekanan osmotik larutan (Π) dinyatakan dalam Π = M.R.T
4. Yang disebut sebagai sifat-sifat koligatif ialah penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku,dan tekanan osmotik.
5. Larutan ideal didefinisikan sebagai larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-partikelnya.
6. sifat koligatif larutan nyata yaitu sifat penting larutan bergantung pada banyaknya partikel zat terlarut dalam larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-partikelnya.
|
1. Apa pengertian dari larutan?
2. Suatu larutan pada umumnya terdiri dari berapa zat? Sebutkan!
3. Berapa jumlah mol 6,72 L gas nitrogen pada keadaan STP?
4. Berapa jumlah mol 700 gr batu kapur, (CaCO3) jika diketahui :
Ar : Ca = 40, C = 12 dan O = 16?
5. Jika pada keadaan STP volume 4,25 gr gas adalah 2,8 L, massa molekul relatif gas tersebut adalah?
6. Berapa kemolaran dari larutan yang dibuat dengan melarutkan 17,1 gram gula pasir (C12H22H11) dalam air sampai volumenya 0,5 L?
7. Berapa kemolalan dari larutan yang dibuat dengan melarutkan 34,2 gram gula pasir (C12H22H11) dalam 200 gram air?
8. Suatu larutan terdiri atas 36 ml air (ρ air = 1/ml) dan 23 gram alkohol (C2H5OH). Berapakah fraksi mol alkohol dalam larutan tersebut?
9. Sebutkan beberapa kelemahan hukum Henry!
10. Apa yang dimaksud dengan volume molar parsial?
11. Apa yang menyebabkan terjadinya penyimpangan positif dan negatif pada hukum Raoult?
12. Pada suhu 20oC koefisien distribusi SO2 diantara air dan kloroform dinyatakan dengan k = [ SO2]H2O / [ SO2]CCl4 = 0,953. Berapa volume total kloroform yang diperlukan pada 20oC untuk 85% SO2 dari 1L larutan SO2 0,169 M dalam air jika dengan 1 kali ekstraksi?
13. Dua kali ekstraksi dengan 50 mL H2S dalam benzen dapat melepaskan 97% solut dari 200mL larutan solut dalam air 0,1 M. Hitung koofesien distribusi dari H2S diantara air dan benzena!
14. Untuk dua pelarut yang tidak saling melarutkan seperti CCl4 dengan air akan terbentuk dua fasa yang terpisah dan jika ditambah Iodium, apakah Iodium larut dalam air atau CCl4 atau dalam kedua-duanya? Jelaskan!
15. Apakah hukum distribusi Nernst berlaku untuk konsentrasi total dikedua fasa atau pada konsentrasi zat yang sama yang ada dalam kedua fasa? Jelaskan!
16. Barikan dua contoh pelarut yang tidak saling larut dalam air!
17. Mengapa tekanan uap larutan lebih rendah dari pada tekanan uap pelaru murninya?
18. Jika suatu zat nonelektrolit Mr-nya 342 dilarutkan dalam 100 gram air. Larutan tersebut mendidih pada temperatur 100,058oC, maka tentukan berapa gram zat yang harus dilarutkan ?(kd air = 0,52oC)
19. Larutan urea dalam air yang volumenya 150 mL mengandung 15% massa CO(NH2)2. Hitunglah titik beku larutan urea tersebut jika massa jenis larutan 1,04 gram/mL dan kf air 1,86oC!
20. Jelaskan yang dimaksud dengan sifat koligatif, peristiwa osmosis dan tekanan osmosis larutan !
21. Berapa Mr 1,2 gram zat nonelektrolit X dalam 200 mL larutan? Larutan suatu zat nonelektrolit X isotonik dengan 6,82 gram gula (C12H22O11 ) dalam 100 mL larutan, temperatur kedua larutan tersebut sama.
22. Apakah definisi sifat koligatif larutan nyata?
23. Sebutkan persamaan reaksi yang ada pada larutan ideal?
24. Apa saja yang dapat menyebabkan penyimpangan dari perilaku ideal?
25. Sebutkan apa saja yang termasuk dalam sifat koligatif larutan?
26. Gambarlah kurva tekanan uap sistem biner dua cairan aseton Me2CO dan karbon disulfida CS2, dan aseton dan khloroform CHCl3 ?
0 komentar:
Post a Comment
*Terimakasih atas kunjungannya, jika ingin kunjungan balik dari saya silakan memberikan komentar di bawah.
*Maaf No Live link dan No unsur SARAP (Suku, Agama, Ras, Antar golongan, Porno)
*Jika anda ingin mengutip artikel harus disertakan link yang menuju artikel ini. Baca selengkapnya di TOS.
*Jika banner atau link sobat ingin ditempatkan di blog ini, silahkan masuk halaman jawigo.blogspot.com/p/sobatku.html